• ,
  • - +

Artikel

76 Tahun Indonesia Merdeka, Merdeka Perjuangkan Nyawa, Merdeka Selamatkan Rakyat
• Senin, 16/08/2021 • Atika Mutiara Oktakevina
 
Asisten Atika menyampaikan sambutan dalam forum dengan Pemda Se-Provinsi Lampung

"Jadi kalau saya mau tracing untuk keluarga saya, bisa ke nomor posko Covid-19 dari unsur Dinkes yang mas maksud ini?" tanya Saya pada saat menghubungi nomor yang tertulis dalam salah satu kanal informasi sebagai nomor posko Covid-19 salah satu Pemda.

"Saya gak tau juga mbak, tapi dicoba aja," jawabnya seraya mendiktekan sebuah nomor.

Sayang, ketika dihubungi ternyata salah sambung, bukan nomor posko Covid-19 unsur Dinas Kesehatan sebagaimana yang dimaksud sebelumnya, tapi malah nomor ambulans gratis.

Untungnya, cerita yang menjadi latar belakang saya menghubungi nomor tersebut tidak benar-benar terjadi. Namun, proses percakapan tersebut benar terjadi. Ya, karena itu terjadi pada saat kami, Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung melakukan monitoring tertutup terhadap nomor-nomor Satgas/Posko/Call Center Covid-19 seluruh Pemda di Provinsi Lampung yang hasilnya juga telah disampaikan secara tertulis kepada seluruh kepala daerah.

Tak perlu saya sebut, percakapan di atas adalah percakapan dengan posko Covid-19 Pemda mana. Tapi andaikan sang petugas membaca tulisan ini, pastilah ia akan senyum-senyum sendiri menyadari bagaimana ia bisa menjawab "gak tau" dan bahkan memberikan nomor rekomendasi yang salah.

Saya masih bersyukur, karena itu hanya sebuah proses monitoring tertutup yang kebetulan dilakukan langsung oleh saya. Namun, kisah di bawah ini merupakan kejadian riil yang saya alami.

"Semoga ketemu ya mbak, obatnya," demikian kalimat penutup yang saya dengar dari handphone saya yang sebelumnya telah saya hubungkan dengan nomor Covid-19 salah satu Pemda tempat domisili saya saat ini. Sekitar satu bulan yang lalu, saya kebetulan mendapat jatah Covid-19. Sebagai seorang dengan komorbid autoimun, rupanya gejala yang saya alami cukup terasa. Saya juga didiagnosa terkena pneumonia berdasarkan hasil rontgen pada hari kelima saya terkonfirmasi positif. Sayangnya, obat yang diresepkan dokter berupa antivirus tidak tersedia di sekitar sepuluh apotek yang saya datangi maupun hubungi melalui telepon. Sepuluh apotek ini tidak hanya berada di satu kabupaten/kota di Provinsi Lampung.

Maka, harapan terakhir bagi saya, tentulah menghubungi nomor satgas, call center, nomor posko atau apalah itu namanya, tentu masih dengan napas sedikit megap-megap. Mau bagaimana lagi? Saya tahu, bahwa berpasrah diri tentu bukan ide yang cukup baik, karena jika terjadi hal yang lebih parah nanti, saya amat yakin, mencari oksigen tentu lebih sulit daripada mencari obat.

Namun ternyata, saya juga tak dapat berharap terlalu banyak. Karena nyatanya, pihak Dinas Kesehatan setempat juga tidak mampu memberi solusi dan hanya menyampaikan bahwa obat tersebut memang sedang kosong saat ini. Di sisi lain, saya mendengar kabar dari beberapa pihak rumah sakit bahwa obat tersebut dapat tersedia, jika saya berkenan untuk dirawat inap. Obat tersebut memang dialokasi khusus untuk pasien rawat inap sehingga tidak akan diberikan untuk pasien rawat jalan. Entahlah, saya tidak tahu harus mempercayai informasi yang mana.

Tahun 2021, soal memperjuangkan nyawa karena adanya peristiwa besar di hampir seluruh dunia, yang disebut "pandemi", ternyata pada akhirnya saya hanya dapat menggantungkan harapan pada diri saya sendiri dan keluarga. Selain Tuhan yang utama tentunya.

Tahun 2021. Tahun ini 76 tahun sudah Indonesia merdeka. Ada begitu harapan besar yang selalu tertanam setiap kali melewati 17 Agustus. Namun, tahun ini begitu sederhana harapan ada pada hati saya, agar Tuhan senantiasa memberikan kesehatan dan kemampuan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan kesehatannya, memperjuangkan nyawanya. Itu dulu saja!

Sudah satu tahun lebih, pandemi Covid-19 telah dan tetap menjadi primadona topik di berbagai kesempatan. Ia bahkan merenggut perhatian pemerintah di hampir seluruh negara di dunia. Saya tidak hendak membandingkan bagaimana penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia dengan di negara-negara lain. Tidak. Ilmu saya belum cukup, dan tentu kurang bijak jika kita membandingkan sesuatu yang tidak apple to apple bukan? Dari sisi jumlah SDM, keuangan negara, keberanian dan kematangan pemerintah dalam mengambil kebijakan dan, ah maaf,  saya tadi sudah mengatakan saya sedang tidak ingin membandingkan.

Maka, pertama saya hanya ingin mengapresiasi, menyampaikan terimakasih tak terhingga dan mendoakan para dokter dan tenaga kesehatan yang sejauh ini sudah berjibaku menjadi tentara terkuat dalam peperangan melawan Covid-19.

Selanjutnya, saya hanya berandai, jika seluruh stakeholder khususnya pihak pemerintah mau lebih berperan dengan hati. Saya memahami, pasti kita semua telah lelah, tidak sedikit yang juga telah merasakan kehilangan orang tercinta, para aparatur negara tengah merasa begitu lelah. Di tengah kondisi pandemi di mana harus memperketat protokol kesehatan, di tengah kondisi WFH (Work From Home) yang terus diberlakukan, namun justru kinerja pelayanan publik dituntut untuk terus berjalan. Saya yakin, pastilah lelah.

Namun, bukankah jalan tersebut telah Anda pilih? Menjadi aparatur negara merupakan salah satu pilihan prestisius karena ia berada di barisan para penyusun dan pelaksana kebijakan. Kebijakan yang selayaknya hadir untuk rakyat yang memang membutuhkan.

Lalu, bukankah menjadi seorang aparatur negara juga memiliki konsekuensi? Di tengah kondisi saat ini, di saat orang lain dapat berdiam diri di rumah, dapat menjaga prokes dengan ketat, dapat lebih banyak beristirahat untuk meningkatkan imun, justru tugas mulia menanti para aparatur negara, karena dokter dan tenaga kesehatan tidak bisa bekerja sendirian.

Dan yang terpenting, 76 Tahun Indonesia merdeka, rakyat tidak bisa sendirian mencari informasi tentang pencegahan dan pengobatan Covid-19, rakyat tidak mampu sendirian dalam memperoleh fasilitas kesehatan dan obat-obatan untuk Covid-19, rakyat tidak mampu sendirian untuk mencari tabung oksigen. Rakyat tidak bisa sendirian untuk memperjuangkan nyawanya! Bukankah ini sebuah negara yang memiliki pemerintahan secara resmi? 

Saya yakin, keberadaan satgas Covid-19 pada masing-masing Pemerintah Daerah memiliki maksud yang sangat penting untuk penanganan Covid-19 di negeri ini. Apalagi jika berbicara peraturan, Permendagri Nomor 20 Tahun 2020 tentang Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Lingkungan Pemerintah Daerah dalam salah satu pasalnya telah mengatur bahwa Pemerintah Daerah perlu melakukan Langkah antisipasi dan penanganan dampak penularan Covid-19. Maka saya pun yakin, bahwa sesungguhnya para satgas dan pemerintah daerahnya memiliki kebijakan dan strategi masing-masing dalam penanganan Covid-19. Persoalannya hanya berkenan atau tidak melaksanakannya. Sekali lagi, dengan segala konsekuensi sebagai aparatur negara, yang mau tidak mau dituntut untuk dapat berbuat sesuatu untuk masyarakat.

Pemerintah Daerah dapat memulai dari hal sederhana, seperti mengaktifkan nomor posko Covid-19 masing-masing, menginformasikan nomor Posko Covid-19 yang terpadu secara masif, sehingga masyarakat cukup mengandalkan satu nomor untuk pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19. Pemerintah Daerah juga sangat perlu menempatkan petugas yang kompeten dan solutif dalam memberikan jawaban. Berikan kemudahan kepada masyarakat yang meminta tracing. Tak perlu sembunyikan jumlah sebenarnya, karena untuk apa terdata kuning, jika sesungguhnya merah?

Saat ini, bukan warna zonasi yang penting, namun kecepatan dalam melakukan tracing serta menanggapi setiap konsultasi dan pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat tentang pandemi ini. Jika bukan kepada pemerintah, lalu kepada siapa lagi masyarakat harus bergantung?

Saya pun memahami, persoalan koordinasi dengan Pemerintah Pusat juga kerap menjadi salah satu faktor kendala dalam penanganan Covid-19 di daerah, sebagaimana argumen beberapa pihak pemerintah daerah, namun setidaknya, berbuatlah yang terbaik dari yang bisa dilakukan.

Sekali lagi, ini hanya harapan saya. Harapan yang saya pikir sudah sewajarnya dapat terjadi. Tidak hanya di level Pemerintah Daerah, namun juga Pemerintah Pusat. Meski lelah, tetaplah berbuat. Sebagaimana kami pihak Ombudsman juga tetap mengawasi, tetap menerima laporan/pengaduan masyarakat, tetap menindaklanjutinya, tetap melakukan upaya-upaya pencegahan, tetap berupaya bersama untuk mencari solusi demi bangkit dari pandemi.

76 Tahun Indonesia merdeka. Harapan yang tak terlalu berwarna, hanya ingin merdeka perjuangkan nyawa, dan semoga Pemerintah pun bisa merdeka selamatkan rakyat dari pandemi.


Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi

Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung





Loading...

Loading...
Loading...
Loading...