Pilkada: Simbolisasi atau Wujud Eksistensi Negara
Euforia pemilihan umum di era demokrasi saat ini tidak terlepas dari penggunaan bahasa-bahasa simbol untuk mengungkapkan secara implisit tujuan dari seorang kandidat. Sering kali pengungkapan misi sulit untuk dibahasakan secara verbal, maupun oral sehingga bahasa simbol dipakai untuk menerjemahkan emosi, gagasan untuk menjalin suatu ikatan lebih mendalam antarasender dengan receiver .
Penggunaan suatu simbol dalam prosesi pilkada adalah sesuatu yang lumrah dan menjadi sebuah tradisi yang unik dan dinanti oleh penikmat simbol, kalangan pengamat, dan masyarakat karena ada unsur kuriositas di dalamnya tentang makna yang ingin disampaikan di balik simbol atau tanda. Selain itu, simbol menjelaskan maksud tersembunyi yang diharapkan bisa dipahami oleh penerima pesan, baik itu yang pesan atau kode.
Era Revolusi 4.0 seakan membuka keran ekspresi baik itu secara verbal maupun nonverbal melalui bahasa simbol melalui berbagai sektor baik itu media konvensional maupun media kontemporer seperti youtube, facebook, instagram, tiktok dan lain sebagainya. Sarana dan prasarana ini mempermudah masyarakat untuk menilai portofolio calon pemimpinnya dalam pusaran pasar demokrasi.
Ekspresi Semiotika Politis
Dalam ilmu pengetahuan, bahasa simbol bisa kita pahami melalui ilmu semiotika, Richard Rudner dalam Beardsley and Schueller (1967: 93-93) mengatakan ..semiotic is the science of theory of sign.From the point of view of the inclusion of aesthetics within the field of semiotic, the art work is conceived as a sign which is, in all the simplest limit case, itself a structur of sign.
Simbol sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan beragam bentuk dan tujuan penggunaannya, baik dalam kaitan dengan kegiatan ilmiah atau pun dalam membangun relasi dengan yang transenden atau Tuhan. Sebagai salah satu bentuk komunikasi, penggunaan tanda atau simbol tertentu tentunya dipengaruhi beberapa faktor yaitu pengirim, penerima, kode, pesan, saluran komunikasi dan acuan.
Sujono Sukamto dalam buku Sosiologi sebuah pengantar (2007:187) mengemukakan bahwa simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang dianut. Simbol-simbol politis bertebaran di berbagai media untuk menjaring ketertarikan rakyat, entah dengan strategi plain folk yang saat ini sudah sangat banyak terjadi maupun dengan peletakan simbol-simbol tertentu yang akrab didalam kehidupan para muda-mudi seperti menggunakan jari telunjuk dan jari tengah membentuk lambang V saat foto atau video sebagai ekspresi menggemaskan ( imut, cantik) dan lain-lain.
Hal ini tentunya tidak begitu saja terjadi tetapi sebagai efek domino dari berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi serta dibarengi oleh semakin mewabahnya penggunaan alat-alat teknologi terbaru baik itu handphone, macbook maupun computer.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengumumkan jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023.
Dari hasil survei penetrasi internet Indonesia 2024 yang dirilis APJII, maka tingkat penetrasi internet Indonesia menyentuh angka 79,5%. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, maka ada peningkatan 1,4%. Strategi dan model pendekatan yangup to date harus dikedepankan guna meraih simpati publik baik itu simbol atau tanda yang selalu disertakan dalam setiap penyampaian gagasan terbaru terhadap sebuah perubahan yang di inginkan yang disampaikan melalui daring , media sosial ataupun youtube mampu menambah ketertarikan pemilih terhadap kandidat calon
Upaya pemasaran kandidat dalam percaturan politik tentunya bukan hal yang baru, sering kali ditemui pada dashboard media online, baik itu koran online maupun majalah mulai terlihat menjamurnya iklan-iklan para kandidat untuk meraup ketertarikan pemilih milenial maupun para swing voters untuk memilih mereka saat pencoblosan nanti.
Pada berbagai kesempatan, sering dipertontonkan beragam simbol yang menunjukan portofolio seorang kandidat yang down to earth, berpihak pada kaum marginal, pro-gender, kaum rentan, difabel dan lain sebagainya.
Simbol-simbol yang ditunjukkan baik berupa pemakaian atribut khas ke-daerahan maupun penggunaan ekspresi simbolik seperti pada perolehan nomor urut calon dalam pemilihan umum. Nomor urut 1 yang ditunjukkan dengan menggunaan jari telunjuk atau jari jempol dan dapat diartikulasi sebagai lambang orang yang berpikir konstruktif, bijaksana, optimis dan memiliki cakrawala luas ke depan. Nomor urut 2 pun sering dikonotasikan oleh sang calon dan tim pemenangan melalui penunjukan dua jari yaitu jari telunjuk dan jari tengah berbentuk huruf ''V" sebagai lambang kemenangan, cinta damai. Ikon populer ini merupakan ekspresi generasi milenial sebagai lambang kawaii (imut) yang lekat dengan generasi Z yang saat ini sudah atau akan mengikuti pemilihan umum untuk pertama kalinya. Metode lain seperti penggantian nama calon ke dalam akronim tertentu yang memiliki arti yang mudah dipahami dan dekat dengan realitas kehidupan masyarakat seperti akronim MANTAP, BAKSO, KITA dan lain sebagainya sebagai strategi untuk menggaet pemilih.
Namun, dibalik bahasa-bahasa simbol tadi, ada tahapan yang patut dilihat dengan lebih seksama dan didorong untuk bisa terlihat kasat mata oleh khalayak umum. Tahapan-tahapan dalam pilkada tentunya menjadi ruang bagi penyelenggara pilkada baik Bawaslu, KPU, maupun institusi lain untuk mengatur tata kelola penyelenggaraan pilkada yang berkualitas sehingga nantinya mampu melahirkan pemimpin publik (kepala daerah) yang berkualitas pula. Sering kali pada tahapan tersebut, potensi maladministrasi menjadi nampak ke permukaan yang dapat mencederai euforia pesta demokrasi itu sendiri.
Sketsa Kebermasalahan
Bingkai demokrasi yang semula memberi "jalan tol " bagi sekelompok elit sekarang perlahan-lahan didobrak oleh adanya perkembangan teknologi informasi yang membantu masyarakat untuk mampu secara kasat mata melihat dan/atau menilai kandidat sehingga tidak lagi dimonopoli oleh korporat atau elit tertentu saja. Walaupun dalam praktiknya masih ada batasan-batasan yang memisahkan diskursus elit dan masyarakat yaitu patologi politik uang dan budayapatron-client.
Seseorang yang dipandang masyarakat atau kelompok tertentu tidak pantas untuk mencalonkan diri dalam sebuah kontestasi tetapi karena faktor keterlibatan elit tertentu dengan kekuatan diplomasi, uang, kekuasaan maka kandidat tersebut berhasil untuk bertarung dalam sebuah pemilihan. Pilkada merupakan sebuah bentuk pelayanan publik di bidang politik sehingga perlu pengawasan yang holistik dan komprehensif.
Pelayanan publik sebagaimana amanat UU No 25 tahun 2009 mengedepankan 4 dimensi seperti dimensi input (kompetensi pelaksana dan pemenuhan sarana dan prasarana), dimensi proses (pemenuhan standar pelayanan), dimensi output (persepsi masyarakat) dan dimensi pengaduan (pengelolaan pengaduan). Potret pelayanan publik bidang politik dalam konteks pilkada yang melibatkan perangkat pemerintah dan partisipasi masyarakat lokal harus patuh asas-asas dan prinsipl penyelenggaraan pelayanan publik. Skema penyelenggaraan pelayanan publik pada situasi tersebut harus dianalisis mulai dari hulu hingga hilir.
Pertama, dimensi input berupa kualitas, kompetensi pelaksana dan pemenuhan sarana serta prasarana patut diawasi dengan seksama untuk menutup ruang transaksional dari berbagai arah. Dalam penegakan sanksi atau identifikasi dugaan pelanggaran, sentra Gakkumdu (Bawaslu, kepolisian, Kejaksaan) kerap tidak sejalan. Potret ini tidak hanya terjadi pada instansi penyelenggara pilkada melainkan juga pada tataran pemerintah daerah. Politisasi birokrasi dan birokrasi berpolitik yang terlihat kasat mata dan telah menjadi rahasia umum, patut menjadi sorotan utama publik akhir-akhir ini. Pada titik ini, proses penyelenggaraan pelayanan publik bagi masyarakat akan terhambat. Praktik tersebut telah merasuki ruang-ruang pemerintah sehingga menyebabkan pusparagam maladministrasi terjadi hampir di semua level. Akibatnya, pelayanan publik bagi masyarakat menjadi buruk dan tak terurus. Habitus ini akan berdampak pada menguatnya akar-akar KKN.
Kedua,dimensi proses, standar pelayanan harus dipandang sebagai tolok ukur dalam menyelenggarakan setiap pelayanan dalam rangkaian perhelatan pilkada sehingga pemenuhan setiap komponen standar layanan dapat meningkatan kualitas layanan publik. Komponen standar layanan tersebut harus disusun, ditetapkan dan dipublikasikan di ruang publik agar pengguna layanan dapat mengetahui setiap detail informasi terkait produk layanan yang ingin atau akan mereka urus dan dapatkan. Kepatuhan/implementasi terhadap standar pelayanan publik ini menjadi penting karena dengan rendahnya kepatuhan penyelenggara pelayanan publik akan menyebabkan tingginya peluang terjadi maladministrasi di instansi pelayanan publik. Kebermasalahan atas standar pelayanan publik yang nirpartisipasi menciptakan maladministrasi dalam implementasi di kemudian hari.
Ketiga, dimensi output, persepsi masyarakat, sebagaimana pesta demokrasi yang kental akan euforia. Prakondisi yang seringkali menjadi tontonan dalam perhelatan pilkada menunjukan bahwa masyarakat yang empunya suara hanya dilibatkan sekali dalam momentum pencoblosan setelah itu dibiarkan menjadi penonton yang kehilangan hak politiknya, hak dididik dalam berdemokrasi. Wujud partisipasi masyarakat tidak hanya saat pencoblosan semata, tetapi ada pada semua tahapan baik itu formulasi kebijakan mengenai penyelenggaraan pilkada hingga evaluasi dan monitoring atas perhelatan pilkada. Partisipasi masyarakat atas pelayanan publik dapat dilihat dari terjaminnya hak memilih dan dipilih (hak konstitusional), hak mengadukan adanya pelanggaran termasuk atas pelanggaran netralitas ASN maupun aparat pelayanan publik lainnya serta pelayanan kepada partai politik mulai sejak awal tahapan pelaksanan pemilu, yakni pendaftaran partai politik, verifikasi partai, masa kampanye, pemungutan suara hingga rekapitulasi suara.
Keempat, dimensi pengaduan menjadi sarat mutlak. Pengelolaan pengaduan sebagai wujud interaksi antara pemberi layanan dengan masyarakat sebagai pengguna layanan dalam penyelesaian setiap permasalahan. Keran-keran pengaduan perlu dibuka lebar, agar masyarakat dapat melaporkan, mengadu sebagai bentuk kontrol masyarakat atas pelaksanaan pilkada.
Penguatan Pengawasan Pelayanan Publik
Keterlibatan dan pelibatan aktif masyarakat merupakah salah satu bentuk implementasi partisipasi bermakna. Dalam penyelenggaraaan pilkada, terlaksananya pelayanan publik di bidang politik seyogyanya membahasakan kehendak politik yang kuat menuju akselerasi kemakmuran dan kesejateraan sosial.
Upaya meminimalisir potensi maladministrasi dalam penyelenggaraan pilkada, tentunya membutuhkan campur tangan stakeholder dan shareholder. Ombudsman sebagai lembaga negara diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pelayanan publik baik administrasi, jasa dan barang sebagaimanan diatur dalam UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Pelayanan publik merupakan inti dari seluruh proses berpermerintahan, sekaligus tanda hadirnya negara dalam keseharian hidup rakyat. Maka, eksistensi Ombudsman harus memberi dampak secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam konteks pilkada, Ombudsman RI hadir untuk mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bebas dari maladministrasi, efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai mana diatur dalam Pasal 4 huruf b dan d UU 37/2008. Disamping itu, Ombudsman harus berperan untuk melakukan pencegahan maladministrasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan publik baik yang dilakukan oleh KPU, Bawaslu, maupun Pemerintah daerah serta segenap stakeholders lainnya. Ombudsman juga bertugas menyelesaikan aduan dari Pelapor (ASN) yang diduga mengalami perlakukan maladministratif dari Instansi terlapor khususnya dalam konteks penegakan kode etik dan netralitas ASN. Membangun jejaring kerja dengan organisasi pemerintah, organisasi masyarakat dan perorangan dalam rangka pencegahan, penyelesaian, dan pengawasan layanan publik dalam pemilu maupun pilkada.
Pendekatan regulasi melalui Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2024 Tentang Pengawasan Netralitas Pelaksana Pelayanan Publik pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024. Harapannya agar surat edaran tersebut bisa menjadi petunjuk mekanisme dan pola kerja pelaksanaan pengawasan pelayanan publik sebagai dampak ketidaknetralan pelaksana pelayanan publik dalam Pilkada 2024 serta menjadi panduan pola kerja Ombudsman dengan Perwakilan Ombudsman dan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam melakukan pengawasan.