• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Perlu Keseragaman Tata Tertib Sekolah
PERWAKILAN: JAWA TENGAH • Jum'at, 09/03/2018 • indra_
 

SEMARANG- Kegiatan siswa yang dilakukan di lingkungan sekolah, tidak jarang memunculkan kekerasan verbal jika tidak disertai dengan pengawasan.

Alih-alih untuk menumbuhkan sikap disiplin terhadap siswa, justru kerap menimbulkan bentuk kekerasan fisik. Untuk mencegah hal demikian, diperlukan instrumen-instrumen pendukung dari sisi aturan, selain peran serta dari lingkungan eksternal, seperti lingkungan keluarga dan masyarakat. Hal tersebut mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Suara Merdeka dan Media Informasi Kota Semarang (MIK Semar) di Menara Suara Merdeka, Jalan Pandanaran Nomor 30 Semarang, Kamis (8/3).

Diskusi yang mengangkat tema "Memutus Mata Rantai Kekerasan dalam Sekolah" ini menghadirkan sejumlah narasumber, dari organisasi masyarakat, LSM, Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jateng dan perwakilan Ombudsman Jateng.

Acara yang dibuka oleh Wakil Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, Agus Toto Widyatmoko itu diikuti oleh General Manager Sales Communication dan Event Suara Merdeka, Nenny Kardiana beserta jajaran. Asisten Bidang Pemeriksa Laporan Ombudsman Jateng, Agus Ardyansyah menyatakan, merujuk Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, tindakan kekerasan ialah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Tindakan ini mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka atau cedera, cacat hingga kematian.

Pengawasan

"Artinya diperlukan juga instrumen-instrumen pendukung dari sisi aturan. Saat ini, sudah ada tata tertib sekolah, tetapi tata tertib itu beranekaragam, satu sekolah dengan lainnya berbeda. Karena itu, diperlukan keseragaman atau distandardisasikan, sehingga ketika terjadi suatu pelanggaran, konsekuensinya juga sama," jelasnya.

Berdasarkan Permendikbud itu pula, disebutkan tindakan pencegahan dapat dilakukan oleh satuan pendidikan, di antaranya dengan menjamin keamanan, keselamatan dan kenyamanan bagi peserta didik di dalam maupun di luar sekolah. Selain itu, kewajiban sekolah melaporkan kepada orang tua/wali termasuk mencari informasi awal apabila telah terjadi dugaan tindak kekerasan yang melibatkan peserta didik baik sebagai korban maupun pelaku.

Agus mencontohkan, kegiatan internal sekolah seperti latihan dasar kepemimpinan (LDK) merupakan kegiatan rutin setiap pergantian pengurus OSIS, baik di tingkat SMP maupun SMA. Kegiatan semacam ini semestinya diketahui oleh masing-masing satuan pendidikan, sehingga bisa dilakukan pengawasan untuk mencegah atau meminimalisasi berbagai bentuk pelanggaran. "Kegiatan internal lain seperti Ospek itu sebetulnya memberi manfaat luas, misalnya menciptakan rasa kedekatan dengan sekolah, guru dan kakak kelasnya. Selain itu bertujuan untuk menumbuhkan kedisiplinan. Di sinilah peran sekolah sangat penting, selain tentunya orang tua," paparnya.

Menurut dia, pencegahan tindak kekerasan tidak serta merta menjadi tanggung jawab sekolah, melainkan semua pihak. Perlu dorongan kepada semua sektor yang terlibat agar kekerasan baik verbal maupun fisik tidak terjadi di lingkungan sekolah. Satu di antaranya dengan melakukan pembinaan hingga pengawasan terhadap siswa. "Memutus mata rantai kekerasan bisa dengan sistem atau aturan. Aturan tidak lepas dari sanksi, karena dengan sanksi, akan menyadarkan dan mengingatkan setiap peserta didik agar tidak merugikan orang lain. Kalau berbicara sanksi memang relatif, tergantung dari cara melihatnya," imbuhnya.

Sementara itu, Komisioner Komisi Informasi Provinsi (KIP) Jateng, Nur Fuad mengatakan, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2017, sebanyak 84 persen anak Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Dia menilai, ada kecenderungan korban kekerasan takut melaporkan apa yang dialaminya kepada pihak sekolah. Hal ini menjadi suatu problem tersendiri untuk mengungkap fakta-fakta yang terjadi di lingkungan sekolah. "Orang tua dalam hal ini juga memiliki peran penting. Di satu sisi, anak juga membutuhkan ruang atau ekspresi. Secara psikolgis mereka ingin menjadi pahlawan yang membuat mereka membentuk kelompokkelompok sendiri," ujarnya.

Enos Jonathan dari perwakilan Media Informasi Kota Semarang (MIK Semar) menambahkan, keluarga merupakan benteng kebangsaan. Pola didik anak yang pertama berada di tangan keluarga, kemudian guru di sekolah serta lingkungan. ''Kalau guru ini seperti profesi perlindungan kedua bagi anak bangsa. Permasalahannya, dahulu anak sangat menghormati guru. Saat ini terbalik, ada yang berani kepada guru di sekolah,'' ujarnya.

Dikatakan pula, untuk memutus mata rantai kekerasan pada anak perlu ada sosok pembimbing atau tokoh yang menjadi panutan anak. Baginya, seorang anak memiliki kebutuhan tentang siapa sosok orang yang akan dicontohnya sebagai frame masa depannya. ''Anak zaman sekarang bukan hanya diberi peraturan saja, akan tetapi siapa yang bisa dia tiru. Anak atau remaja yang tertarik pada suatu kegiatan, mereka harus menemukan mentor yang baik. Ketika tidak menemukan, mereka pasti memiliki arah yang keliru,'' terangnya.

Perwakilan dari LSM Buser, Didi mengemukakan, sekolah semestinya melakukan pengawasan penuh untuk mendampingi semua kegiatan, baik di dalam sekolah maupun di luar. ''Dengan adanya pendampingan, kekerasan dapat dihilangkan,'' ujarnya.


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...