• ,
  • - +

Kabar Perwakilan

Kukar Bisa, Kenapa Samarinda Tidak?
PERWAKILAN: KALIMANTAN TIMUR • Sabtu, 24/02/2018 •
 

PROKAL.CO, OBAT kedaluwarsa diduga menumpuk di sejumlah puskesmas di Samarinda. Masalah tersebut bisa saja ditemukan di daerah lain di Kaltim. Aroma mala-administrasi pun tercium.

Kepada Kaltim Post, Pelaksana Tugas Kepala Perwakilan Ombudsman RI Kaltim Ali Wardana menuturkan, faktor kelalaian ditemukan dalam pengelolaan obat kedaluwarsa. Temuan bermula dari insiden anak berumur 9 tahun yang muntah-muntah setelah mengonsumsi obat kedaluwarsa. Obat cair dalam kemasan botol itu diperoleh dari petugas Puskesmas Bengkuring, Samarinda.

Ombudsman memperoleh dua kesimpulan awal. Pertama, pemberian obat kedaluwarsa disebabkan faktor kelalaian petugas pelaksana layanan. "Dalam hal ini petugas apoteker," sebut Ali ketika ditemui di kantornya, Selasa (20/2). Ombudsman telah meminta Dinas Kesehatan Kota (DKK) Samarinda memeriksa dan mengevaluasi kejadian tersebut.

Kesimpulan kedua, Ombudsman menemukan fakta lain berdasarkan keterangan petugas puskesmas. Pengelolaan obat kedaluwarsa selama ini ditengarai bermasalah. "Kami menduga ada pengabaian ketentuan dalam peraturan," terangnya. Aturan yang dimaksud terdiri dari Undang-Undang 36/2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah 72/1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, serta Permenkes 74/2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian.

Ombudsman menyebut, kewenangan penanganan obat kedaluwarsa berada di DKK. Faktanya, banyak obat kedaluwarsa yang bertahun-tahun menumpuk di puskesmas. Obat-obatan itu semestinya ditarik dan selanjutnya dimusnahkan.

"SOP (standard operating procedure) itu tidak berjalan selama bertahun-tahun. Jika tidak segera ditangani, dampaknya berbahaya," ingat Ali. Masyarakat bisa menjadi korban jika ada oknum, baik sengaja maupun tidak, menyalahgunakan obat-obat kedaluwarsa. Sementara yang menanggung risikonya, lanjut Ali, pasti pelaksana pelayanan.

Ombudsman juga sangsi atas dalih Puskesmas Bengkuring sedang mengikuti proses akreditasi. Menurut Ali, penumpukan obat kedaluwarsa tak bisa dibenarkan karena sudah ada peraturan menteri yang mengatur standar kefarmasian. Meskipun petugas farmasi sudah memisahkan, obat kedaluwarsa dan yang belum tetap di ruangan sama.

"Sekarang siapa yang menjamin petugas tidak lalai? Kalau satu ruangan juga berbahaya karena obat bisa terkontaminasi," ungkap Ali yang alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda.

Ombudsman juga menemukan bahwa puskesmas sebenarnya sudah mengusulkan kepada UPT Instalasi Farmasi Samarinda untuk menarik obat kedaluwarsa. Usulan itu ditolak karena gudang UPT Instalasi Farmasi sudah penuh. "Sedikitnya, obat kedaluwarsa ditemukan di empat puskesmas di Samarinda," lanjutnya. Temuan yang lain adalah tidak semua puskesmas di Samarinda memiliki standar pelayanan farmasi khususnya penanganan obat kedaluwarsa. "SOP baru ada kalau sudah terakreditasi," tuturnya.

Di samping itu, tidak ada pemusnahan obat kedaluwarsa di Samarinda selama 8 tahun ini. Padahal, pemusnahan obat bisa berjalan di Kutai Kartanegara. DKK Kukar melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Pengelola Aset dan Keuangan Daerah, serta Inspektorat Daerah.

"Kalau terganjal aturan, rasanya tidak. Jika di Kukar bisa, kenapa di Samarinda tidak?" Bahkan di Samarinda, lanjut Ali, Puskesmas Temindung diketahui memusnahkan obat kedaluwarsa secara berkala.

Jika DKK Samarinda beralasan ada kekosongan hukum, Ombudsman menyatakan, hal itu mustahil. Obat kedaluwarsa harus dimusnahkan dan tidak boleh menunggu bertahun-tahun. "Seharusnya ada monitoring DKK selaku pembina," terangnya. Ombudsman menyayangkan Pemkot Samarinda yang tidak sigap menarik dan memusnahkan obat kedaluwarsa di seluruh puskesmas. Ketidaksigapan itu membuat apoteker dibayang-bayangi pidana ketika lalai. Sementara masyarakat akhirnya menjadi korban.

Asisten Bidang Pencegahan ORI Perwakilan Kaltim Ria Mayasari menambahkan, peredaran obat kedaluwarsa seperti tersistematis. Apoteker di puskesmas sudah meminta penarikan namun ditolak UPT Instalasi Farmasi Samarinda karena gudang penuh. Sementara DKK Samarinda juga telah meminta gudang baru dibangun namun belum terealisasi. "Makanan saja, empat bulan sebelum kedaluwarsa sudah ditarik. Bagaimana dengan obat? Ini soal komitmen," tuturnya. (tim kp)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...


Loading...
Loading...