• ,
  • - +

Artikel

Problem Pelayanan Publik Jambi
• Jum'at, 03/03/2017 • Shopian Hadi
 

BERGULIRNYA orde reformasi dengan diberlakukannya otonomi daerah bertujuan meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dipandang paling mengetahui kebutuhan masyarakat sekaligus paling dekat untuk melayani rakyat.  Namun dibalik semangat otonomi daerah, kinerja pemerintah daerah masih jauh dari melayani rakyat. Tidak terkecuali di provinsi Jambi, banyaknya keluhan pelayanan publik yang diberitakan media massa, seperti jalan maupun jembatan yang bertahun-tahun rusak, sekolah rusak, hingga pungli dan warga miskin tidak mendapat Raskin, menjadi salah satu indikator nyata.

Aparatur pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan, dipandang lebih menepatkan diri sebagai “pejabat” dan penguasa. Hal ini ditujukan belum membaiknya pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana visi misi kepala daerah. Wajah pelayanan publik di Provinsi Jambi bisa disebut wajah pelayanan setengah hati. Misalnya saja, dari hasil kepatuhan Standar Pelayanan Publik sesuai Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 yang dilakukan Ombudsman RI Tahun 2016 masih jauh dari harapan. Pemprov Jambi dengan 45 jenis pelayanan administrasi yang diteliti, bernasib sama dengan pemkab Kerinci dengan 47 jenis pelayanan yang masih berada pada zona merah.

Sedangkan Pemkot Jambi dengan 45 jenis pelayanan administrasi, Pemkab Muaro Jambi  dengan 41 jenis pelayanan administrasi dan Pemkab Tanjung Jabung Timur dengan 60 jenis pelayanan administrasi juga belum memiliki pelayanan publik yang standar, masih berada zona kuning. Belum ada pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah di Provinsi Jambi yang berada di zona hijau menunjukan, pelayanan publik di Jambi belum ada yang berstandar sesuai dengan Undang-undang Pelayanan Publik.

Hasil itu sejalan dengan banyaknya jumlah pengaduan pelayanan publik ke Ombudsman RI secara nasional ada 10.476 pengaduan. Dari jumlah tersebut 40 persen lembaga yang diadukan tertinggi adalah pemerintah daerah, dan disusul kepolisian, BUMN/BUMD dan Badan Pertanahan Nasional. Fenomena yang sama juga terjadi di untuk provinsi Jambi dan daerah lainnya. Ini bisa disimpulkan Pemerintah Daerah adalah ujung tombak pelayanan yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat.

Bila demikian, apa problem yang membuat pelayanan publik provinsi jambi belum juga maksimal. Problem pelayanan publik provinsi jambi dan kita saat ini diantaranya adalah, pertama, tidak memiliki standar pelayanan publik sebagaimana di syaratkan Undang-Undang 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Walaupun ada standar tersebut, dari data Ombudsman RI, sebanyak 78,41 persen dari 2000 pelayanan administrastif di Indonesia, tidak melibatkan masyarakat dalam penyusunan standar pelayanan publik. Artinya, standar yang disusun belum partisipatif dan melibatkan keinginan serta kebutuhan masyarakat pengguna pelayanan. Bahkan perhatian terhadap kebutuhan kelompok rentan dan difabel masih sangat jauh dari perhatian.

Kedua, tidak memiliki dan atau tidak memadainya penanganan pengaduan pelayanan. Hingga saat ini banyak masyarakat yang bingung dan putus asa akan mengadu kemana terhadap permasalahan pelayanan publik. Jadi jangan heran bila pengaduan ke Ombudsman, ke LAPOR yang dikelola Kantor Staf Presiden maupun lembaga lainnya semakin banyak dan meningkat akibat ketiadaan sarana pengaduan di daerah. Ketiadaan sarana pengaduan plus tindak lanjut yang memadai ini bisa kita lihat di Provinsi Jambi belum ada sarana pengaduan online atau sebagainya. Padahal, banyaknya pengaduan pelayanan publik mencerminkan tingginya harapan dan tuntutan masyarakat serta kepedulian untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas yang bila direspon akan menjadi masukan bagi pemerintah.

Permasalahan ketiga, yaitu tidak melakukan survei kepuasaan masyarakat untuk mengukur kinerja dan keinginan masyarakat terkait pelayanan yang diberikan. Dengan demikian, penyelenggara tidak mengetahui keinginan dan sejauh mana kepuasaan terhadap kinerja aparatur. Tentu yang diinginkan masyarakat adalah survei yang riil dilakukan untuk mendapatkan masukan guna perbaikan, bukan survei yang dilakukan dengan pesanan tertentu guna pencitraan kinerja tanpa bukti nyata.

Dari keseluruhan problem pelayanan publik itu, problem utamanya adalah kurangnya keinginan (political will) kepala daerah dan aparatur dalam membangun pelayanan publik yang prima. Kesadaran dan mental aparatur menjadi langkah awal untuk membangun pelayanan publik sebagai kewajiban, bukan ”kebaikan” atau “pemerintah bermurah hati” dalam melaksanakan pembangunan dan melayani rakyatnya. Walaupun berupaya ditutupi dengan pencitraan kinerja, akan tetapi yang dirasakan langsung masyarakat dan banyaknya pemberitaan media massa mengungkapkan banyak kaluhan pelayanan publik.

Peran Ombudsman dan Harapan

Dari hal di atas, peran Ombudsman dalam mengawal pelayanan publik sangat berarti bagi masyarakat. Bagi pemerintah, khususnya pemprov Jambi dan kabupaten/kota, hal tersebut bisa dimanfaatkan guna melakukan perbaikan pelayanan publik. Banyaknya jumlah pengaduan masyarakat, bila dimanfaatkan oleh pemerintah tentu sangat baik guna evaluasi dan mengukur kinerja dan melecut perbaikan pelayanan oleh aparaturnya. Sidak langsung, blusukan, dan menindaklanjuti keluhan masyarakat oleh kepala dan pejabat bisa menjadi langkah baik mengetahui masalah langsung dilapangan.

Yang menjadi masalah saat ini, mental aparatur masih menganggap pengawasn yang dilakukan oleh berbagai instasi lembaga seperti Ombudsman, BPK, BPKP atau aparat penegak hukum sebagai pihak yang harus dihindari. Seharusnya lembaga seperti Ombudsman digunakan untuk mendorong penyelanggaraan pemerintah yang bersih, meningkatkan mutu pelayanan, memberantas praktek maladministrasi, dan meningkatkan pelayanan hukum yang berintikan kebenaran dan berkeadilan. Demikian juga tindakan pengawasan oleh lembaga lain maupun lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat langsung seharusnya dijadikan koreksi. Tentu ironis, bagi pihak swasta menggunakan konsultan dengan mengeluarkan biaya untuk mengetahui tingkat kepuasan dan kelemahan pelayanannya guna diperbaiki untuk kepuasaan pelanggan. Akan tetapi instasi pemerintah mendapatkan masukan dari Ombudsman hingga masyarakat secara gratis, tidak digunakan untuk perbaikan.

Namun hal itu tentu menjadi lain bila mental dan keinginan aparatur adalah untuk melakukan penyimpangan serta menutup-nutupi. Tidak adanya perbaikan pelayanan publik, bisa saja dinilai karena aparatur penyelenggara sengaja membuat demikian untuk mendapatkan keuntungan dan menikmati keadaan karena berorientasi materi dan kekuasaan saja. Kendala anggaran dan sebagainya hanya menjadi salah satu dalih sekaligus pembenaran, kontras dengan pengadaan mobil dinas baru atau besarnya biaya perjalanan dinas misalnya. Karena itu perbaikan pelayanan publik Jambi merupakan keharusan. Harapan kita semua adalah, pelayanan publik prima untuk semua. (*)


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...