• ,
  • - +

Artikel

Pengampunan Pajak Atau Malaadministrasi?
• Kamis, 01/09/2016 • Alamsyah Saragih
 
pengampunanpajak.com

Pengampunan pajak semula digagas sebagai senjata berlaras ganda. Di satu sisi dimaksudkan untuk merayu agar modal milik orang Indonesia yang parkir di luar negeri mau masuk kembali.

Di sisi lain dapat menjadi penahan laju penurunan penerimaan pajak akibat perekonomian yang menurun. Namun, masyarakat kelas menengah merasa pengampunan pajak adalah ancaman bagi mereka. Bank Dunia (2012) menyampaikan, penduduk dengan pendapatan kelas menengah di Indonesia meningkat tajam dari 37,7% pada 2003 menjadi 56,5% pada 2010.

Kelas menengah rata-rata tumbuh tujuh juta per tahun dan masuk kategori sangat cepat sebagaimana kebanyakan negara berkembang. Kelas menengah di Indonesia dibagi dalam empat kelompok pendapatan. Pertama, kelompok pendapatan Rp2,6-5,2 juta per bulan (38,5%). Kedua, kelompok pendapatan Rp5,2 -7,8 juta per kapita per bulan (11,7%).

Ketiga, kelompok pendapatan Rp7,8-13 juta per bulan (5%), dan keempat adalah kelompok pendapatan Rp13-26 juta per bulan (1,3%). Di tataran ekonomi makro pertumbuhan kelas menengah ini telah menyebabkan komponen konsumsi rumah tangga masih menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi. Pada 2015, komponen konsumsi rumah tangga mencapai 56,6% dari total produk domestik bruto (PDB).

Kelas Menengah dan Pembentukan Modal

Secara teoretis, kelas menengah selain sebagai penggerak pasar melalui konsumsi, dalam tingkat tertentu merupakan basis pembentukan modal domestik. Dalam formasi kelas menengah yang kuat, pengenaan pajak tinggi atas kekayaan tak produktif dalam batas tertentu dapat mendorong kecenderungan kelas menengah menjadi sumber pembentukan modal ekonomi produktif.

Pengalaman Korea Selatan pada periode 1980-1987 menunjukkan bahwa lapis kelas menengah baru tidak memiliki kontribusi yang kuat terhadap pembentukan investasi produktif. Mereka lebih berorientasi pada upaya memperbaiki kualitas hidup, seperti mendapatkan hunian yang lebih layak, tabungan sekolah anak, dan mempersiapkan masa pensiun (Chung, 2007).

Dengan formasi 50,2%, kelas menengah berpendapatan kurang dari Rp8 juta per bulan, serbuan barang konsumsi impor wajar terjadi ketika produksi dalam negeri tak mampu memenuhi gaya hidup mereka. Konsumsi barang otomotif, elektronik, alat komunikasi yang berkandungan impor tinggi tak tertahan. Sebagian besar kelas menengahdiIndonesialebih berfungsi sebagai penggerak sektor konsumsi, belum pada taraf pembentukan modal domestik.

Untuk mengisi kesenjangan tersebut diperlukan kehadiran modal asing. Selama dua tahun pemerintahan Jokowi telah banyak paket kebijakan ekonomi digelontorkan agar iklim usaha domestik cukup atraktif bagi pemodal asing. Ketersediaan infrastruktur dan energi menjadi salah satu prasyarat penting untuk menarik modal masuk.

Pemerintah membiayainya melalui pinjaman luar negeri sepanjang untuk sektor produktif. Kewajiban membayar pinjaman luar negeri telah menembus angka Rp250 triliun di tahun 2016. Kebijakan pengampunan pajak, dalam jangka tertentu, diharapkan dapat meningkatkan penerimaan untuk mengurangi beban tersebut.

Kondisi perekonomian yang menurun telah berimbas pada penerimaan pajak. Sosialisasi pengampunan pajak juga mengarah kepada kelas menengah yang masih belum terlalu kokoh. Akibatnya, terjadi kesalahan persepsi bahwa kebijakan pengampunan pajak yang semula ditujukan untuk menarik uang parkir di luar negeri telah berubah tujuan menyasar masyarakat.

Alih-alih tekanan pajak kekayaan mendorong mereka untuk membentuk modal, yang terjadi mereka berteriak merasa diperlakukan tak adil dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa mayoritas kelas menengah kita masih belum masuk ke taraf pembentuk modal. Kekeliruan dalam penerapan prioritas sasaran kebijakan pengampunan pajak ini perlu dikembalikan pada tujuan awalnya.

Musuh Kita Malaadministrasi

Kita tak boleh menganggap ringan musuh utama dalam membangun iklim usaha yang atraktif, yakni malaadministrasi dalam pelayanan publik. Berdasarkan perkembangan laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman RI, ditemukan masih sangat banyak malaadministrasi yang berdampak negatif terhadap iklim usaha di Indonesia.

Salah satunya adalah praktik penundaan berlarut yang berpotensi menimbulkan suap. Dari laporan yang masuk, Ombudsman mencatat maraknya penundaan berlarut dalam pengurusan administrasi di sektor perizinan, pertanahan, pengadaan listrik, logistik, dan penyelesaian masalah dwelling time yang baru terbatas pada pelabuhan Tanjung Priok.

Pada 2015, dari 6.859 laporan yang diterima Ombudsman, 25,3% terindikasi penundaan berlarut dan 6,7% terindikasi suap. Pemerintah perlu lebih fokus dan bekerja ekstrakeras dalam memberantas mala administrasi dalam sektor usaha kita. Meski kelas menengah yang tumbuh pesat diiringi bonus demografi adalah peluang pasar yang menarik bagi investasi, malaadministrasi akan menyebabkan daya saing kita menurun.

Selain malaadministrasi, prosedur yang ditempuh memang masih cukup panjang. Sebagai contoh, untuk memulai usaha para investor masih harus menempuh 13 prosedur dalam waktu 47 hari. Dalam survei kemudahan usaha yang dilakukan Bank Dunia pada 2015, Indonesia masih berada pada peringkat 109 dari 189 negara yang disurvei.

Pengampunan pajak harus diarahkan pada sasaran semula, yakni untuk menarik masuk uang warga negara yang parkir di luar negeri. Di sisi lain, memperkuat pengawasan dan lini depan pelayanan publik harus menjadi prioritas.

Termasuk pengawasan terhadap aturan terbaru yang dikeluarkan Dirjen Pajak terkait diskresi subjek pengampunan pajak. Jika tidak, upaya meningkatkan penerimaan negara melalui pajak akan menghancurkan kekuatan konsumsi yang masih menjadi motor pertumbuhan ekonomi.


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...