• ,
  • - +

Artikel

Pelayanan Publik Berkaca pada ”Brexit”
• Jum'at, 15/07/2016 • Ninik Rahayu
 

*Opini dimuat di Koran Sindo

 

Meski tidak sama persis dengan peristiwa tragedi di Mina yang dialami Jamaah Haji Tahun 1990- an dan terakhir Tragedi Mina tahun 2015 yang lalu di Terowongan Mina, Arab Saudi, tragedi di sekitar wilayah pintu tol Brebes Timur (biasa disebut Brexit) menjadi peristiwa terburuk sepanjang pemerintahan negeri ini mengelola layanan perjalanan ”mudik” Lebaran yang menjadi tradisi ”baik” bagi umat muslim di Indonesia.

Belum hilang di ingatan kita, bagaimana pemerintah Indonesia dan negara-negara lain mengecam pemerintah Arab Saudi yang dianggap tidak siap menerima tamu Allah. Perjalanan mudik tahunan yang seharusnya dilakukan dengan gembira menyambut kemenangan dari berbagai godaan yang bisa menyebabkan tidak dilaksanakannya ibadah puasa, dilanjutkan dengan kemenangan lainnya dalam bentuk silaturahim dengan orang tua, sanak saudara, kerabat, menjadi ”siksaan” perjalanan.

Marah-marah, teriak, lapar, haus, tidak bisa buang air, tidak bisa salat, tidak bisa bernapas bahkan sampai harus meregang nyawa, adalah akibat yang harus dibayar mahal untuk mendapatkan kemenangan lanjutan setelah puasa. Mengapa mudik Lebaran bagian dari kemenangan? Pengalaman mudik tahunan, tidak sekadar bersilaturahmi secara fisik yang hanya bisa dilakukan setahun sekali dan bisa bebas bertemu hampir dengan semua kerabat di waktu yang sama.

Waktu bersamaan adalah bentuk kemenangan yang tidak didapatkan di harilain. Agaksulitmenyamakan hari libur dengan keluarga, keluarga besar apalagi komunitas, di luar hari mudik Lebaran.

Mudik bukan sekadar kemenangan setelah menjalankan puasa selama sebulan lamanya, tidak sekadar sentuhan langsung dengan keluarga, tetapi punya makna yang sangat luas, yang menjadikan setiap individu yang berniat mudik menjadi ”orang baru”, ketika kembali ke tempat rutinitasnya.

Mudik lalu bisa menjadi tempat pemulihan bagi masyarakat yang selalu lelah dengan rutinitas kerja. Peristiwa Brexit 2016, di mana 17 orang meninggal karena— secara langsung dan tidak langsung— akibat kemacetan sepanjang tol Cipali-Brebes dan wilayah sekitarnya, tanpa ada solusi yang akomodatif dan hanya responsif menjadi catatan sejarah buruknya penanganan pemerintah dalam menyambut hari kemenangan para pelaku tradisi mudik.

Ketidakmampuan pengelolaan secara profesional urusan mudik tahunan ini bahkan dapat dikategorikan sebagai pembiaran, tidak lagi kelalaian. Tanggapan atas peristiwa ”Brexit” yang menjadi trending topic selama lima hari peristiwa mudik, kemudian direspons beragam oleh banyak pihak.

Sebagaimana biasanya pemerintah, dalam berbagai kesempatan yang diliput media ”menyampaikan bahwa segala persiapan, antisipas imenyam butmudik Lebaran sudah dilakukan berminggu- minggu bahkan mungkin sudah berbulan-bulan”, jadi sudah maksimal yang dilakukan.

Dan karena sudah menganggap maksimal yang dilakukan, respons selanjutnya adalah sebagian justru mengecam, bahwa tragedi ”Brexit” disebabkan perilaku warga yang tidak tertib dalam melaksanakan mudik, misalnya dengan mempertanyakan kenapa harus bersamaan mudiknya, kenapa harus mudik buangbuang duit, bahkan upah setahun dihabiskan seminggu, kenapa harus mudik naik motor bahaya buat diri sendiri dan orang lain, kenapa harus bawa mobil pribadi tidak memilih fasilitas umum seperti kereta api atau pesawat atau bus? Bahkan tidak sedikit yang mengecam dan disebut sebagai tindakan siasia, bodoh, tidak modern, dan kecaman lain.

Kecaman setidaknya ditujukan dengan mempertanyakan tradisi mudik yang dinilai lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.

Tradisi Versus Pelayanan Publik

Memangbenarjikadikatakan bahwa tradisi mudik Lebaran bukan ajaran agama Islam. Namun di balik tradisi mudik, ada ajaran agama yang sangat kuat melekat pada sejatinya kebutuhan manusia, yaitu silaturahmi yang sebenar- benarnya silaturahmi.

Upaya mengubah tradisi mudik menjadi tradisi mudik melalui online, surat, atau layanan pesan singkat atau dalam bentuk lain, adalah upaya menghalang-halangi melakukan silaturahmi yang justru menjadi bagian penting umat (Islam) meyakini sebagai bagian dari menjalankan perintah agama.

Kalaupun hari Lebaran bias dibuat dua kali, ataudibuat dalam waktu yang berbeda beda supaya bias dibagi, tetap saja orang akan lebih memilih mudik di waktu yang ma-yoritas keluarga memiliki waktu mudik yang sama, sebab dimensi waktu secara bersamaan itulah yang menjadikan silaturahmi bisa menjadi terselenggara secara utuh.

Tidak hanya dengan keluarga, tetapi juga dengan keluarga besar, bahkan dengan komunitas. Bentuk larangan aktivitas massal mudik Lebaran, sama saja dengan larangan menyelenggarakan aktivitas massal lainnya yang selama ini juga memiliki potensi kondisi yang mengharukan, misalnya digelarnya turnamen sepak bola, konser musik yang menghadirkan musisi-musisi besar, karnaval, dan aktivitas publik yang bersifat massal lainnya.

Tentu tidak lazim kalau kemudian, aktivitasnya yang dihentikan, atau bahkan melarang menjadi aktivitas publik. Tetapi bagaimana pemangku kepentingan melakukan tanggung jawabnya dalam memberikan layanan publik.

Tujuan utama dibentuknya pemerintah adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban di dalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. Hakikat dari pemerintah modern adalah jika telah memiliki fungsi untuk memberikan layanan kepada masyarakat, dan bukan melayani dirinya sendiri.

Bahkan pemerintah modern, adalah jika mampu memfasilitasi kemampuan pengembangan masyarakat dengan segala kreativitasnya untuk mencapai kemajuan bersama.

Ndraha (200:7) mengemukakan, pemerintah sebagai unit kerja publik, pemerintah berguna (memproduksi, mentransfer dan mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak yang diperintah sebagai konsumen atau sovereign, akan jasa-jasa layanan pulik dan layanan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah.

Jasa publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah, tidak hanya terkait layanan yang bersifat umum, saat ini bahkan juga terkait langsung dengan kebutuhan perlindungan di wilayah privat, tetapi tidak terkait langsung dengan jasajasa yang dapat diperjualbelikan. Bagaimana menilai layanan publik yang dilakukan pemerintah, baik atau belum dan/atau kurang baik.

Trigono memberikan catatan bahwa layanan pemerintah berdimensi baik, jika tercukupi mulai dari dimensi kualitas layanan dapat diukur melalui waktu, ketepatan, kehormatan, kepekaan, kelengkapan, kesiapan, kenyamanan dan lingkungan.

Sedangkan Lukman (1998:8) dimensi kualitas layanan publik mensyaratkan antara lain 1) ketepatan waktu layanan, akurasi pelayanan, kesopanan, keramahan dalam memberikan layanan, tanggung jawab kelengkapan, kemudahan mendapatkan layanan, variasi model pelayanan, pelayanan pribadi, kenyamanan dalam memperoleh layanan, atribut pendukung pelayanan lainnya. Maka pelayanan (proses) yang utuh dimulai dari input, proses dan output. Sedangkan layanan adalah output .

Pemerintah dalam memberikan pelayanan, memiliki mesin birokrasi yang bersifat hierarkis, dalam berbagai posisi mulai pusat sampai dengan daerah. Ada yang bersifat vertikal maupun kekuasaan horizontal.

Tetapi dengan adanya aturanaturan untuk mengatur mesin birokrasi, pemerintah sebagai organisasi besar menjalankan rutinitas atau yang bersifat berulang- ulang, maupun yang kondisional dituntut untuk memiliki kemampuan mempersiapkan sumber daya dan sarana- prasarana agar layanan publik dapat dijalankan.

Pertanyaannya kemudian adalah, sudahkan mesin birokrasi untuk menyiapkan, menjalankan, dan mengakomodasi kebutuhan layanan publik mudik Lebaran sudah berjalan optimal. Jika belum, di bagian mana yang belum maksimal. Mengingat banyak sektor yang terlibat yang bisa diminta pertanggungjawaban, misalnya kementerian/ lembaga dan seterusnya ke bawah yang terkait dengan urusan layanan publik di jalan umum, misalnya Bina Marga, Perhubungan, Kepolisian, dan Kesehatan.

Aktivitas rasional pemerintah dalam menjalankan layanan publik, baik yang bersifat rutin maupun kondisional adalah aktivitas tanggung jawab pemerintah yang harus dipertanggungjawabkan sebagai pemegang otoritas pengatur layanan publik.

Masyarakat sebagai pengguna layanan publik dan yang diperintah menjalankan otoritas kebijakanpemerintah, tetapmemiliki posisi yang sejajar. Masyarakat dapat meminta dan menuntut, mengamanatkan, dan mengontrol pemerintah sehingga jasa layanan publik bagi setiap warga masyarakat dapat dipenuhi sesuai kebutuhan, dansebaliknya pemerintah sebagai ”produser dan distributor” layanan publik dapat memerintah agar masyarakat menjalankannya dengan baik.

Berikan penjelasan secara transparan kesiapan dan ketidaksiapan pemerintah dalam menyambut arus balik tiga dan empat hari ke depan, agar masyarakatsiap. Jangan mengatakan semua siap jika nyatanya banyak hal yang memang pemerintah belum siap.

Sesuai Pasal 15 dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 200 tentang Pelayanan Publik memberikan kewajiban penyelenggara pelayanan publik untuk menyusun dan menetapkan standar pelayanan; menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan; menempatkan pelaksanaan yang kompeten; menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas yang memadai; memberikan pelayanan yang berkualitas; melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan; membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya; dan memenuhi panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan hukum.

Mendasarkan pada ketentuan di atas maka saatnya pemerintah melakukan evaluatif yang konstruktif terhadap kasus ”Brexit” 2016, dengan mengidentifikasi berbagai layanan publik yang seharusnya dilakukan tapi sejak persiapan sampai pelaksanaan di lapangan luput dilakukan. Saatnya pemerintah berkaca dari kasus ini.

Jangan sampai masyarakat akan ramai-ramai menggunakan pilihan untuk meminta pertanggung jawaban negara atas kewajiban layanan publik yang tidak dipenuhinya.


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...