• ,
  • - +

Artikel

Mengedepankan Perlindungan Pasien dalam Pelayanan Kesehatan
• Rabu, 18/04/2018 • Darius Beda Daton
 
Darius Beda Daton, SH, Kepala Ombudsman Perwakilan NTT

Di hadapan para pimpinan rumah sakit di Kota Kupang, pengurus  Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTT, Pengurus Persatuan Rumah sakit Seluruh Indonesia (PERSI) NTT, BPJS Kesehatan  dan Profesor Dr. H. Hasbullah Thabrany selaku staf ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), pada tanggal 8 Maret 2018 lalu, saya menyampaikan kegelisahan mendalam terkait realitas pelayanan kesehatan di NTT, khususnya pelayanan fasilitas kesehatan rumah sakit dilihat dari sisi perlindungan terhadap pasien. Sebagai orang yang sehari-hari berkecimpung di bidang pengawasan pelayanan publik, termasuk pelayanan publik dasar bidang kesehatan, setiap hari saya menerima sms dan telepon dari pasien atau keluarganya terkait pelayanan kesehatan yang mereka terima dari rumah sakit atau pusksesmas di Kota Kupang dan kabupaten lainnya di NTT. Jika merasa perlu, terkadang saya mengunjungi mereka guna memastikan bahwa apa yang disampaikan benar adanya. Saya juga kerap berdiskusi dengan managemen rumah sakit guna mencari jalan keluar permasalahan yang dialami pasien. Dalam forum tersebut, saya menyampaikan data dan fakta dalam statistik pengaduan masyarakat NTT ke Kantor Ombudsman NTT selaku lembaga negara pengawas pelayanan publik dalam kurun waktu tahun 2016-2017.  Data dan fakta tersebut dihimpun dari komplain masyarakat kepada lembaga Ombudsman RI serta monitoring Pelayanan Di Rumah Sakit , Survei Indeks Kepuasan Masyarakat,  Survei Kepatuhan Standar Pelayanan, dan Kunjungan tanpa pemberitahun ke loket pelayanan rumah sakit dan puskesmas yang kerap saya lakukan. Apa saja yang dikeluhkan masyarakat NTT terkait pelayanan kesehatan?

Substansi Pengaduan

Mengacu pada data pengaduan masyarakat NTT dalam kurun waktu tahun 2016-2017 kepada Kantor Ombudsman RI Perwakilan NTT maka terdapat tiga instansi yang kerap dilaporkan atau menjadi penyumbang terbesar komplain publik terkait pelayanan bidang kesehatan yaitu rumah sakit, puskesmas, dan BPJS Kesehatan. Meski secara kuantitas jumlah laporan kepada tiga institusi ini tidak banyak, tetapi substansi laporan yang disampaikan warga ternyata beraneka rupa. Mari kita lihat apa saja substansi laporan untuk masing-masing institusi tersebut. Pertama:  Antrian pada loket pendaftaran pasien BPJS Center sangat panjang sehingga waktu tunggu pendaftaran pasien khususnya di RSUD W.Z. Yohanes Kupang menjadi cukup lama. Akibatnya pelayanan ke poli menjadi terlambat dan akan berimbas ke pemeriksaan penunjang jika memerlukan pemeriksaan penunjang pada unit pelayanan penunjang. Dalam sehari, pasien tidak bisa menuntaskan seluruh tahapan pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkannya.  Kedua: Keterbatasan Jumlah Dokter Spesialis di rumah sakit. Dampaknya, waktu pelayanan dan jumlah pasien terpaksa dibatasi guna mengurangi beban pemeriksaan dokter. Jika dipaksakan, dokter bisa saja kelelahan dan akan berpengaruh pada akurasi diagnosa.Ketiga; stok obat di Instalasi Farsmasi rumah sakit kosong atau belum tersedia. Utamanya obat sakit kronis seperti jantung, kanker dll. Alhasil, pasien BPJS terpaksa membeli sendiri obat diluar Apotik rumah sakit.  Keadaan akan bertambah runyam jika rumah sakit belum menyiapkan mekanisme pengembalian uang pasien yang membeli  obat diluar apotik rumah sakit tersebut.Keempat; Praktek dokter lebih dari 3 tempat. Apalagi bila penugasan dokter pada tempat praktek keempat oleh dinas kesehatan dilakukan pada jam pelayanan yang sama  dengan rumah sakit yang menjadi tugas utama dokter.Kelima; Dokter memberikan resep obat diluar formularium nasional dengan alasan indikasi medis sehingga pasien peserta BPJS  harus membeli obat sendiri.Keenam; Kondisi ruang perawatan yang tidak nyaman diakibatkan oleh jam kunjungan pasien yang tidak diatur.  Ketujuh; Kebersihan ruang perawatan serta kamar mandi/WC. Kedelapan; Pasien BPJS terpaksa turun kelas perawatan diakibatkan ruangan hak kelasnya penuh. Pasien harus membayar lebih jika dirawat di atas hak kelasnya. Kesembilan; Minimnya waktu kunjungan serta penjelasan/konsultasi terkait kondisi kesehatan pasien oleh dokter yang melakukan visite. Bahkan ada dokter yang hanya melakukan visite via telepon saja. (visite by phone). Kesepuluh; Adanya managemen rumah sakit tertentu menginformasikan ke tenaga kesehatannya agar menahan pasien lebih lama dirawat inap dengan maksud tertentu. (whiste blower yg belum terverifikasi).Kesebelas: Adanya praktek memberikan komisi rujukan di rumah sakit swasta sebesar Rp 400-500 ribu/pasien terkait strategi marketing. (Whiste blower yang belum terverifikasi).Keduabelas; dugaan malpraktek dokter. Soal malpraktek dokter ini biasanya langsung kami teruskan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) di Jakarta agar diperiksa lebih lanjut.   

Substansi pengaduan warga terkait pelayanan kesehatan sebagaimana disampaikan warga terkonfirmasi saat kantor Ombudsman RI Perwakilan NTT melakukan investigasi atas prakarsa sendiri dengan tema; "Koherensi aspek SDM tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan dan disiplin profesi tenaga medis dengan norma, standar, prosedur dan kristeria (NSPK) penyelenggaraan urusan bidang kesehatan di Kota Kupang" yang dilakukan pada akhir tahun 2016 lalu. Dengan melihat aspek SDM tenaga kesehatan, Fasilitas kesehatan dan Disiplin profesi tenaga medis, substansi permasalahan pelayanan kesehatan sebagaimana disampaikan warga tersebut terkonfirmasi benar.

Harapan Pasien

Bagi pasien dan keluarganya, pada saat mengunjungi suatu fasilitas kesehatan baik puskesmas maupun rumah sakit, beberapa harapan yang diinginkan adalah; sarana prasarana fasilitas kesehatan yang memadai, stok obat yang cukup dan petugas kesehatan yang cukup dari sisi jumlah dan kualifikasi. Harapan yang sederhana dan tidak muluk. Karena itu sudah semestinya menjadi perhatian utama para pemilik dan pengelolah rumah sakit dan puskesmas untuk memenuhi harapan tersebut. Secara formal, harapan pasien juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor: 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.  Kedua undang-undang tersebut mengatur secara rinci apa yang menjadi hak-hak pasien antara lain; keamanan, kenyamanan dan keselamatan, memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur, didengar pendapat dan keluhannya, mendapat advokasi dan perlindungan, dilayani secara benar, jujur dan tidak diskriminatif, memperoleh kompensasi ganti rugi, memperoleh pelayanan aman, bermutu dan terjangkau, dan memperoleh informasi terkait data kesehatan diri dan pengobatannya. 

Saran Perbaikan

Semua substansi keluhan warga terkait pelayanan kesehatan sebagaimana tersebut diatas tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab rumah sakit atau puskesmas semata. Beberapa stakeholders terkait harus bersinergi satu sama lain untuk mewujudkan harapan para pasien ini. Karena itu beberapa saran perbaikan  berikut ini ditujukan kepada semua stakeholders terkait dimaksud.

Pertama; agar rumah sakit menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Standar Pelayanan Publik (SP) untuk semua jenis layanan. Bagi yang melanggar standar tersebut agar dikenakan sanksi administrasi sesuai tingkat kesalahannya.  Rumah sakit juga diharapkan tidak mempekerjakan tenaga medis yang berpraktek lebih dari 3 tempat sebagaimana amanat Pasal 37 ayat 2 undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran, dimana SIP dokter hanya untuk maksimal 3 tempat dan 1 SIP berdasarkan ST Dinkes Provinsi.

Kedua; Pemilik rumah sakit, terutama rumah sakit milik pemerintah daerah agar memenuhi Standar minimal jumlah dan kualifikasi tenaga medis pada RSU berdasarkan klasifikasi RS sebagaiamana diatur  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perijinan  Rumah Sakit. Saat ini, banyak rumah sakit milik pemerintah daerah yang belum memenuhi standar minimal jumlah dan kualifikasi tenaga medis. Akibatnya, banyak pasien dari kabupaten/kota di NTT yang dirujuk ke RS lain di Kupang atau diluar NTT hanya karena ketiadaan dokter spesialis tertentu.

Ketiga; Dinas Kesehatanagar mensyaratkan pemenuhan jumlah dan kualifikasi minimum tenaga kesehatan pada saat mengeluarkan izin bagi pemohon ijin pendirian rumah sakit dan faskes lain. Diharapkan pula melakukan verifikasi secara cermat permohonan SIP dokter agar SIP yang dikeluarkan benar-benar di 3 tempat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang serta melakukan monitoring secara berkala ke seluruh fasilitas kesehatan guna memastikan bahwa pelaksanaan praktek dokter telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keempat: Ikatan Dokter Indonesia (IDI) agar memantau dan mengevaluasi setiap tenaga dokter agar patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai praktek kedokteran. Membuat standar layanan minimum bagi para tenaga medis dengan mengatur jumlah pasien yang dapat dilayani setiap tenaga medis per hari/jam.  Jika memungkinkan, agar memfasilitasi para dokter spesialis tertentu untuk distribusi secara merata ke semuah faskes, sehingga praktek setiap dokter spesialis tidak lebih dari 3 (tiga) tempat. 


Loading plugin...



Loading...

Loading...
Loading...
Loading...